Minggu, 30 Mei 2010

Kisah Menjadi Kaya karena Menikah


Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!



Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

Sabtu, 29 Mei 2010

Kisah Bangun Pagi Menuju Keberkahan Rejeki

Saya dan suami punya kebiasaan yang lain lagi dalam menyambut pagi. Saya biasanya dilanda kebingungan akan menu makanan yang akan saya masak hari ini, khususnya jika daftar menu lupa saya susun sebelumnya. Tidak jarang, melihat tumpukan baju kotor yang harus dicuci, juga tumpukan peralatan makan di dapur, rasanya badan ini malas bergerak. Apalagi musim hujan nan dingin seperti sekarang. Tak perlu melihat tumpukan cucian pun, pagi hari biasa disambut dengan bermalas-malasan. Ingin rasanya kembali ke balik selimut, menunggu matahari yang masih malu-malu muncul. Suami saya, seringkali lebih semangat menyambut hari baru di pagi hari, tapi juga tidak jarang bermalas-malasan di pagi hari yang dingin.

Jika melihat anak pertama kami sudah bangun dan melakukan aktivitasnya sendiri dengan semangat, rasanya malu juga. Seharusnya saya memberi contoh yang lebih baik. Bukannya memilih bermalas-malasan daripada segera melakukan aktivitas yang menjadi tanggung jawab saya. Tapi seringnya, malu itu dikalahkan rasa malas. Padahal, dalam pagi hari ada keberkahan. Seperti pepatah di kalangan orang Arab yang menyebutkan bahwa berkah itu ada di waktu pagi, albarakatu fi bukuriha.

Waktu pagi, memang menyimpan banyak keutamaan. Salah satunya adalah keutamaan zikir pagi yang dianjurkan untuk memperoleh banyak rahmat Allah SWT. “Dan sebarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang untuk mengharapkan keridhaan-Nya” (Al-Kahfi; 28).

Waktu pagi adalah waktu pergantian tugas malaikat malam dan siang. Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya bahwa waktu shubuh adalah masa di mana para malaikat malam naik ke langit digantikan dengan malaikat siang. Sungguh terasa indah jika saat-saat pergantian malaikat itu, kita sedang berada dalam kondisi taat kepada Allah swt.

Namun apa yang terjadi? Biasanya saya lebih memilih untuk bermalas-malasan. Menjalankan sholat shubuh dengan terkantuk-kantuk kemudian bermalas-malasan menunggu matahari muncul adalah hal yang tidak jarang saya lakukan. Astaghfirullahaladziim..



Waktu-waktu shubuh di pagi hari adalah waktu yang oleh para ulama dianggap sebagai waktu terbaik untuk mendalami suatu ilmu. Suasana pagi yang tenang membuat konsentrasi dan kemampuan memahami meningkat. Ibnu Jarir Ath Thabari, yang mampu menulis sebanyak empat puluh halaman setiap hari selama empat puluh tahun terakhir masa usianya, melakukan murajaah akan ilmu dan ide-ide yang akan dituangkan dalam tulisannya di awal-awal shubuh. Lukman Al-Hakim pun mengingatkan anaknya tentang kemuliaan pagi dan mudahnya akal menyerap ilmu dengan mengatakan, “Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas darimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.”

Lihatlah! Pagi tak pernah bosan menyapa kita kecuali Allah menentukan takdirnya yang lain. Suasana pagi tetaplah penuh dengan kesegaran dan kesejukan. Suasana pagi selalu membawa harapan bagi diri. Selamat pagi! Saya ingin selalu menyapa pagi dan menjadikannya momen yang baik untuk memperbaiki diri. Mudah-mudahan..

Wallahu’alam bishshowab

Kisah Lelaki Ahli Sedekah

Laki-laki itu. Tak satu pun pedagang dan peminta sumbangan yang melewatkan mejanya. Karena jika mereka menghampirinya, pasti akan ada sesuatu yang mereka terima. Tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Seorang gadis kecil berjilbab, kulihat sering berkunjung dan keluar dari ruangannya menggenggam amplop.

Laki-laki itu. Adalah biasa baginya makan rujak dari bungkus yang sama dengan anak buahnya. Tak pernah menjadi masalah baginya bertanya,”Ada yang bawa kue/oleh-oleh, ya?“ dan kemudian mencomotnya. Sebagaimana tak masalah pula ketika para staf meminta dibelikan rujak atau makanan. Lembaran rupiah pun dengan ringan melayang.

Laki-laki itu. Ruang kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah ruangannya adalah tempat istimewa yang tak boleh dijamah siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan. Hingga semua fasilitas di sana dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anak buah: komputer, telepon, internet, bahkan bangku tamu pun dapat dijadikan tempat rapat, atau sekedar istirahat.

Laki-laki itu. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat hingga office boy- tanpa harus kehilangan wibawa.

Laki-laki itu. Adalah kebetulan aku sedikit mengenal keluarganya. Dan karenanya aku tahu bagaimana rumahnya menjadi tempat berlabuh bagi banyak orang. Dan karenanya aku tahu, bahwa ia adalah seorang yang ringan tangan, ringan hati dan dermawan terhadap sesama. Pertama kali aku mengunjungi tempat tinggalnya, aku sempat terpana: rumah itu terlalu sederhana untuk seorang ia. Namun toh, rumah itu telah pernah menjadi tempat singgah begitu banyak jiwa.



Laki-laki itu. Berbincang dari hati ke hati dengannya bukan sekali dua saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya sekitar 6 tahun yang lalu, saat ia menjadi pejabat level paling bawah di kantorku, ia sudah menjadi seseorang yang cukup dekat denganku, termasuk dengan staf-staf lain tentunya. Kedekatan dan keakraban itu bahkan hingga taraf konsultasi kehidupan pribadi. Bahkan pernah ada saat-saat ia membuatku menangis dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan kehidupan pribadi. Dan sejak itu, ia terus menjadi salah satu bagian hidupku di dunia kantor.

Laki-laki itu. Postur tubuhnya ideal. Gerak geriknya gesit. Usianya belum lagi 40 tahun meski rambutnya nyaris telah memutih semua, (mungkin) karena banyak berpikir keras. Dalam enam tahun itu, karirnya terus menanjak, sedang banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam enam tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh banyak pihak dan kemudian menjadi seseorang yang terpercaya.

***

“Nduk! Piye kabarmu sak wise kawin?” Laki-laki itu dengan to the point menyampaikan pertanyaan itu begitu aku duduk di depan mejanya. Beberapa saat sebelumnya, ia melambaikan tangan memanggilku ketika aku lewat, meski aku bukan lagi anak buahnya. Panjang lebar, aku becerita tentang kondisi terakhirku setelah sebulan menikah. Dan dari lisannya kemudian mengalir nasehat-nasehat panjang tentang pernak-pernik pernikahan yang kudengar baik-baik meski sekali-kali kami timpali dengan canda. Itulah saat terakhir aku berbincang cukup banyak dengannya.

Sabtu, 22 Mei 2010

Al Faatihah

Kalau saya tidak salah, al Faatihah itu sekitar 142 huruf (Bismillah dan huruf tasydidnya dihitung). Kalo kita bicara poin dengan bilangan pengali 10 (asumi setiap kebaikan dikali 10 kebaikan), maka poin membaca Surah al Faatihah itu sebanyak 1420. Itu kalo kita baca sendirian. Gimana kalo kita kumpulin anak-anak kita dan istri kita? Seisi rumah saya: Istri saya, Maemunah. Dan anak-anak saya: Wirda, Qumii, Kun, Haafidz. Jumlahnya minimal 5 orang, dengan saya jadi 6 orang. Jika saya minta semua baca al Faatihah, maka setiap orang akan dapat: 1420 x 6 = 8.520 poin. Poin ini adalah poin minimal. Sebab selain Rasulullah menjanjikan pahala 10 untuk setiap hurufnya, Rasulullah pun masih menjanjikan dikali ilaa sab'i mi-ati dhi'fin; dikali sampe 700x lipat. Kalo dikali 700x lipat, maka poin kebaikannya mencapai: 596.400 poin kebaikan. Untuk pekerjaan baca al Faatihah yang terbilang mudah, poin kebaikannya banyak banget. Itu belom lagi pahala-pahala yang lain. Di mana Al Faatihah adalah doa, puji-pujian, dan macam-macam lagi fadhilah membaca al Faatihah.

Apa maksudnya saya awali dengan hitung-hitungan poin?
Gini, saban hari Jum'at, adalah hari rayanya ummat Islam. Setiap Jum'at, seluruh laki-laki yang baligh lagi berakal, diwajibkan shalat Jum'at. Beruntunglah di Indonesia ada kebiasaan pengumuman-pengumuman dulu sebelomnya khotib naik mimbar. Di antara pengumuman biasanya imam/DKM masjid meminta kita-kita peserta shalat Jum'at untuk mendoakan si Fulan dan si Fulan, lalu meminta membacakan al Faatihah.

Nah, jika kita sepakati menyuruh anak-anak kita dan istri kita maka kita dapat pahalanya, dan bahkan semuanya dapat pahala juga, kiranya demikian pulalah yang terjadi jika kita meminta dibacakan al Faatihah jelang khotib naik mimbar khutbah. Sebanyak yang hadir dan sebanyak yang baca, sebanyak itu pula kita dapat perkalian poin kebaikannya. Subhaanallaah kan? Ada yang mau iseng ngitung? Coba aja. Apalagi kalo masjidnya masjid yang gede-gede, yang sekali Jum'atan bisa seribu, 5ribu atau bisa sampe 10ribu dan 100ribu jamaah macam Istiqlal. Widdiyyyy.... Subhaanallaaah dah banyaknya.
Dan mengajak (baca: meminta) jamaah Jum'atan membaca al Faatihah itu gampang. Cukup dekati DKM masjid. Bahkan cukup sms jika kenal dengan DKM nya. Lalu berilah sedikit kebaikan. Misalnya derma berapa gitu untuk masjid dan merbotnya. Habis itu minta dah dibacakan al Faatihah... InsyaAllah pasti dibacakan. Ga ada dermanya juga kalo minta didoakan mah, insyaAllah didoakan.

So, jangan lewatkan saban Jum'at, titip sedekah dan permintaan doa dan pembacaan al Faatihah lewat suara Imam atau DKM masjid. Dan segera dapatkan limpahan poin kebaikan yang ga kira-kira banyaknya. InsyaAllah poin-poin kebaikan ini "bisa ditukar" oleh Allah sebagai doa kita hingga ia menjadi kemudahan bagi setiap urusan kita, kesembuhan bagi penyakit kita, dan wasilah amal saleh yang baik sekali untuk pengabulan doa-doa kita. Yah, jika kita selama ini yang dikomandoi terus sama DKM agar membacakan al Faatihah dan doa untuk si Fulan dan si Fulan, sekarang sesekali boleh dong gantian yang mengomando jamaah semua lewat permintaan kita kepada imam/DKM masjid.

Salam, Yusuf Mansur.

Rabu, 19 Mei 2010

IBLIS Pelopor Materialisme ( Matre )

Materialisme adalah faham hidup yang dianut banyak manusia sejak dahulu kala sampai hari ini. Bahkan IBLIS adalah BAPAK MATERIALISME PERTAMA di alam semesta ini. Kebanggaannya dan klaimnya yang tidak didasari pengetahuan, bahwa api lebih baik dari tanah adalah bukti bahwa Iblis adalah penganut faham materialisme pertama. Kemudian diteruskan oleh anak cucu Adam yang tergoda dan tertipu oleh Iblis khususnya bangsa Yahudi.

Tidak ada perbedaan mendasar antara materialisme di zaman prasejarah maupun di zaman moderen sekarang ini. Secara umum, materialisme terbagi kepada tiga kategori:

a. Materialisme yang berkedok ilmu pengetahuan seperti yang dikembangkan kaum evolusionis. Pemikiran seperti ini bermuara dari falsafah materialisme yang dikembangkan Barat yang meneruskan pemikiran dan falsafah Yunani Kuno. Kaum materialis yang berkedok ilmu pengetahuan ini sesungguhnya menafikan keberadaan Tuhan Pencipta alam semesta. Tokoh klasiknya yang diagungkan di zaman moderen adalah Charles Darwin. Darwin dengan teori evolusinya yang miskin argumentasi itu telah banyak menyesatkan manusia, tak terkecuali dari kalangan Muslim. Ironisnya, teori evolusi telah menjadi landasan berfikir peradaban Barat moderen dan juga Dunia Islam yang terpengaruh oleh peradaban Barat, paling tidak satu abad belakangan.

Teori yang dikembangkan kaum evolusionis-materialis ini telah melahirkan generasi atheist di berbagai belahan dunia, termasuk di Dunia Islam. Namun demikian, teori yang sempat dibanggakan oleh berbagai kalangan ilmuwan dunia sekitar satu setengah abad ini secara ilmiah telah kandas sejak awal abad 20 karena nyata-nyata bertentangan dengan berbagai penemuan ilmiah yang tak terbantahkan, seperti teori Big Bang, penemuan sisa-sisa radioaktif oleh ilmuwan NASA tahun 1988 dan berbagai penemuan ilmiah lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan moderen seperti embriologi, astronomi dan sebagainya. Semua penemuan tersebut dengan jelas membuktikan adanya Zat Pencipta alam semesta yakni Allah Ta’ala. Kendati demikian, pengaruh faham materialisme yang berkedok ilmu pengetahuan tersebut masih kuat dalam kehidupan manusia moderen karena telah menjadi kultur/budaya.

b. Materialisme yang berbasis sosial ekonomi. Faham materialisme ini boleh dikatakan sebagai saudara kembar faham materialisme yang berkedok ilmu pengetahuan. Kendati materialisme berbasis sosial ekonomi ini tidak sevulgar jenis yang pertama dalam menolak dan menafikan eksistensi Tuhan Pencipta, namun implikasinya dalam kehidupan sama saja, yakni penolakan atas konsep Tuhan Pencipta secara total atau setengah-setengah dan pada waktu yang bersamaan terjebak mempertuhankan benda dan apa saja yang berbentuk materi khususnya harta benda, pangkat dan lain sebagainya.

c. Materialisme yang berbasis tanah dan air atau apa yang disebut dengan faham nasionalisme. Faham materialisme jenis ini sesungguhnya sudah terkikis dari atas bumi, khususnya di negeri-negeri Islam sejak Rasululllah Saw. mendeklarasikan pertama kali Negara Madinah, sebuah negara moderen yang didasari falsafah dan ideologi Tauhid yang menjadi dasar konsep kenegaraan dan pemerintahan moderen. Di antaranya ialah standarisasi loyalitas terhadap tanah tempat kelahiran manusai bukan berdasarkan keturunan, warna kulit, bahasa, suku, tempat dan tanggal lahir dan sebagainya, melainkan berdasarkan komitmen ideologi terhadap Tuhan Pencipta, serta tegaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat, kendati mereka berbeda suku, warna kulit, bahasa, dan bahkan berbeda agama sekalipun. Hal itu disebabkan, karena bumi, langit dan semua makhluk yang ada di dalamnya dan di antara keduanya, termasuk manusia adalah makhluk (diciptakan) Allah Ta’ala.




Fakta menunjukkan, bahwa ketiga virus materialisme tersebut menjadi fakor utama kehancuran dan kekacauan tatanan hidup manusia. Berbagai fasilitas dunia yang seharusnya berfungsi sebagai sarana kehidupan telah berubah menjadi tujuan utama bagi kehidupan. Tidak jarang pula fasilitas kehidupan dunia berubah menjadi tujuan dan dicintai melebihi cinta kepada Tuhan Pencipta, bahkan ada pula manusia yang menyembahnya. Akibatnya, berbagai nilai dan aturan yang menata kehidupan manusia dengan mudah dilanggar. Pola hidup menjadi tidak terkendali sehingga menghalalkan segala cara dan tanpa mempertimbangkan kerusakan yang akan timbul dalam masyarakat dan lingkungan.

Sebagai akibat lain dari virus materialisme adalah, manusia lupa akan Perjalanan Wisata Abadinya (Rihlatul Khulud) yang amat panjang, bermula dari sebelum mereka dilahirkan ke dunia dan berakhir ketika mereka kembali kepada Tuhan Pencipta di sebuah negeri abadi yang bernama Akhirat.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) Akhirat adalah lalai”. (Q.S. Ar-Rum ayat 7)

Agar kita tidak tertipu oleh faham dan ideologi materialisme yang sudah menggurita akal, fikiran, perasaan dan hati kebanyakan umat manusia hari ini, ada empat hal yang harus kita jadikan pegangan dalam hidup ini :

1. Ingat selalu kematian. Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Ini adalah sunnatullah (ketetapan Allah) yang mustahil dapat kita rubah atau kita hindarkan. Setiap hari kita melihat kematian di mana-mana. Cukuplah peristiwa kematian itu bagi kita sebagai pelajaran.

2. Bangun orientasi hidup akhirat, karena akhirat itulah yang abadi. Harus disadari betul bahwa kehidupan dunia ini sementara dan sebagai ladang kita bercocok tanam atau berinvestasi akhirat. Gunakan semua potensi akal, ilmu, harta, fisik dan apa saja yang kita miliki di jalan Allah Ta’ala. Buang jauh-jauh angan-angan duniawi dari dalam diri kita, jauhkan hidup yang berlebihan, dan hiduplah dengan sederhana, karena kehidupan yang berlebihan itu hanya akan melalaikan kita dari konsentrasi menuju kehidupan sejati, yakni kehidupan akhirat.

3. Evaluasi pengertian sukses yang selama ini menggurita pikiran kita. Orang yang sukses bukanlah yang banyak hartanya, akan tetapi yang menginfakkan kebanyakan hartanya di jalan Allah. Orang yang sukses bukanlah yang tinggi pangkatnya di dunia, akan tetapi yang paling baik kualitas taqwanya di sisi Allah. Orang yang sukses bukanlah yang paling banyak ilmunya, akan tetapi yang paling takut kepada Allah. Orang yang sukses bukanlah yang paling berkuasa di dunia, akan tetapi yang paling taat dan tunduk kepada Allah semasa hidup di dunia. Sukses bukanlah ditentukan dan dinilai di dunia, akan tetapi ditentukan dan dinilai di akhirat nanti.

4. Hati-hati terhadap kehidupan dunia dan jangan sampai tertipu, karena kehidupan dunia ini di mata Allah hanyalah kenikmatan yang sedikit dan menipu. Harta, tahta, anak dan istri adalah bunga-bunga dunia dan menjadi ujian dalam kehidupan dunia. Jika kita tidak pandai memenej dan mensyukurinya, semua itu akan menjadi beban dan bencana bagi kita, jika tidak di dunia pasti di akhirat kelak akan kita rasakan musibahnya.

Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 185 :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S. Ali Imran (3) : 185)

Kisah Jihad Melawan Asmara Membara

Orangnya cerdas dan kini dia mendapat beasiswa untuk belajar di sebuah perguruan tinggi pendidikan agama terkenal di luar negeri. Kepiawaiannya sangat diakui rekan dan para dosennya. Bahkan karya tulisnya mengenai agama menghiasi majalah dan surat kabar. Namun dia mengeluh kepada saya, bahwa saat ini dia tak bisa konsentrasi belajar karena memikirkan hubungan cinta jarak jauhnya. Ya, dia tengah menjalin cinta dengan seseorang yang sedang studi juga di negara lain sejak beberapa bulan ini. Benang-benang asmara terajut lewat email, chatting, dan SMS, nyaris setiap hari. Ada saja hal-hal yang saling dicurhatkan dan dilaporkan. Masya Allah!

Namun, konflik batin terus menggelayuti hati dan pikiran teman saya itu. Betapa tidak, dia tahu bahwa semua itu mengganggu konsentrasi belajarnya, apalagi saat ini dia sedang mempersiapkan ujian akhirnya. Terbayang jika gagal, maka orang tua yang siang malam mendoakannya pasti akan kecewa. Lebih-lebih lagi, dia juga paham bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah dosa yang bisa dikategorikan sebagai zina hati. Dia juga mengerti bahwa itu semua bisa terjadi karena godaan syaithan la’natullah, yang makin menggila kala imannya sedang lemah. Namun apa daya, dia merasa tidak sanggup melawan arus deras godaan cinta itu. Dia merasa terus terhanyut oleh buaian syaithan yang kali ini seakan berwajah manis. Bayangan sang kekasih sungguh sulit untuk dihapuskan. Pikirannya yang cerdas dan pengetahuan yang luas mengenai syariat Islam seakan berubah menjadi tumpul kala digunakan untuk mengatasi konflik batin ini.

****

Alhamdulillah, suatu saat dia mendatangi majelis taklim dan mendengar lantunan firman Allah SWT: “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Fathir: 6). Suara hafidz yang tartil itu sungguh merasuk dalam qalbunya dan menjadi media penghantar Nur Hidayah-Nya.

“Jihad...!!!” teriaknya tanpa sadar.

Benar sekali, jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu diri-sendiri) dan jihadusy syaithan (jihad melawan syaithan). Dua istilah yang intinya satu yakni jihad ini menggetarkan hati dan pikirannya. Teringat tausyiah salah seorang gurunya: “Kata Al-Jihad di-kasrah huruf jim secara bahasa bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan. Sedangkan secara syar’i bermakna mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi musuh, khususnya orang-orang kafir.”



Kuncinya adalah “Mengerahkan segala kemampuan, baik materi atau bahkan nyawa kita, untuk membela agama Allah dan melawan musuh Allah dan Rasul-Nya”. Jadi, jika usaha kita biasa-biasa saja atau sambil lalu belumlah dikatakan sebagai jihad.

Menurut Ibnul Qayyim ra., jihadun nafs adalah jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah. Sedangkan jihadusy syaithan ada dua tingkatan, pertama berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan syaithan pada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman. Orang yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Kedua, berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan syahwat. Orang yang mampu melakukannya akan membuahkan kesabaran. Sabar akan menolak syahwat dan kehendak buruk, keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.

Dua jenis jihad inilah yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebelum jihadul kuffar (jihad melawan orang kafir yang menyerang aqidah Islam) dan jihadul munafiqin (jihad melawan orang munafiq yang yang menyerang aqidah Islam).

****

“Jadi... tunggu apa lagi”, pikir teman saya itu, “Musuh sudah jelas walaupun tidak tampak, yaitu syaithan. Jalan sudah ada, yaitu jihad. Saya akan mulai dengan berniat lilLaahi Ta’ala, sebab amal perbuatan akan sia-sia di mata Allah jika tidak dilandasi dengan niat yang benar, Innamal a’malu bin niyyaat”. Beberapa program jihadun nafs dan jihadusy syaithan dia canangkan dan dia jalankan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan. Genderang perang melawan hawa nafsu dan syaithan ditabuhnya dengan menggelegar. Hatinya ikhlas, jika memang sang kekasihnya itu adalah jodohnya, Insya Allah akan dipertemukan dengannya dalam pernikahan yang syar’i.

Untuk mewujudkannya, tidak perlu komunikasi hotline 24 jam sehari dengan sang kekasih seperti yang sudah-sudah. Yang penting, amanah belajar harus dituntaskan dulu. Namun dalam masa belajar ini, adalah rugi di mata Allah jika hanya mempelajari pengetahuan duniawi tanpa mendasarinya dengan pengetahuan ukhrawi. Oleh sebab itu, jika suatu saat dia akan mengajak kekasihnya untuk menikah maka diniatkan sebagai ajakan untuk beribadah.

Jika godaan nafsu datang, dia hadapi dengan memperbanyak puasa, istighfar, dan zikir. Untuk meneguhkan hati dan fisiknya, dia perbanyak tilawatil Qur’an dan Qiyamul Lail. Jika ada perkara meragukan, apakah tergolong kebaikan atau justru keburukan, dia ingat sabda Rasulullah SAW: “Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik. Dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu.” (HR Muslim).

Teman saya itu senyum-senyum kecut jika ingat apa saja yang pernah dia lakukan selama ini. Kebodohan atau kekurang pengetahuannya memang berbuah kejahilan; menjahili apa-apa yang menjadi ketentuan Allah SWT, yaitu: apa yang disuruh-Nya dilalaikan, apa yang dilarang-Nya justru dijalankan sebaik-baiknya. Astaghfirullah...

Kini teman saya sangat bahagia karena merasa tidak dibiarkan oleh Allah SWT bergelimang dalam kesesatan dan maksiat. Ia merasa sangat bersyukur karena telah mendapat taufiq dan hidayah-Nya dalam mengendalikan cintanya dengan jihad.

Membandingkan Kesuksesan dirimu dgn diriku

Di usia menapaki lebih dari seperempat abad, teman-teman saya sudah ada yang lulus S-2, menjalani karier yang prospektif dan mantap, serta berkeluarga dengan mapan. Sementara saya? Masih belum seperti mereka.

Sebagian dari anda mungkin memiliki perasaan seperti itu. Membandingkan diri dengan keadaan rekan-rekan seangkatan dan mencoba menganalisa diri ada di posisi mana. Tidak jarang, kita merasa posisi kita masih belum sejajar dengan mereka. Kita merasa, mereka sudah menjalani kehidupan dengan lebih mantap, lebih mapan, atau lebih sukses. Kalau sudah begitu, lantas diri sering merasa minder, kurang percaya diri, apalagi jika berhadapan dengan orang-orang yang kita anggap lebih itu.

Seorang psikolog terkenal pernah menulis, jangan pernah membandingkan apa yang ada dalam diri orang lain dengan apa yang kita miliki. Karena biasanya, ini berakhir dengan perasaan buruk. Kalau kita merasa diri lebih baik, akan ada rasa sombong hinggap dalam diri. Sementara bila sebaliknya, kita lalu akan merasa gagal dan rendah diri.

Benar. Saya merasakan lebih sering berada di posisi yang kedua. Membandingkan dengan teman seangkatan (atau lebih muda) dan melihat mereka sudah memiliki pekerjaan tetap yang mantap, maka terkadang hadir perasaan inferior, minder karena saya belum sampai di taraf itu. Alih-alih membuat saya termotivasi untuk lebih baik, saya lebih sering merasa gagal dan itu menyurutkan langkah untuk mengembangkan kemampuan lebih lanjut.

Ada kalanya saat membandingkan keadaan diri dengan orang lain, saya menilai keadaan saya “lebih baik”. Akibatnya, saya merasa sudah cukup melakukan usaha. Bahkan mungkin berhenti memberikan upaya optimal karena merasa sudah ‘lebih baik’ dari orang lain.



Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Psikolog tadi mengatakan, ukur keberhasilan kita dengan upaya yang sudah dijalankan disertai kemampuan yang nyata ada pada kita. Maksudnya, ketimbang berpayah-payah membandingkan keadaan diri dengan orang lain, bandingkan saja keadaan diri kita saat ini dengan keadaan diri kita di masa lalu. Lihat dengan jujur ke dalam diri, apakah kita sudah berupaya sebaik-baiknya meraih kesuksesan versi kita sendiri? Apa sebenarnya arti kesuksesan bagi kita? Jika kita sudah menemukan jawabannya, maka posisikan diri kita saat ini berdasarkan standar kesuksesan yang kita miliki sendiri. Untuk itu, kita perlu menetapkan sebuah target yang bisa kita jadikan sebagai ukuran.

Ambil contoh seorang sprinter. Ia menetapkan target untuk bisa mencapai catatan waktu 12 detik. Jika suatu kali, saat perlombaan ia mampu menjadi juara pertama, tapi catatan waktunya lebih dari 12 detik, maka ia belum bisa memenuhi standar kesukesannya sendiri. Sebaliknya, jika ia menjadi juara 2 tapi mencatatkan waktu kurang dari 12 detik, maka ia sudah mampu memenuhi standar kesuksesannya.

Setiap orang sepertinya memiliki target yang ingin dicapainya masing-masing. Karena itu, tentu saja standar kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Adalah tidak adil bagi diri sendiri, jika kita membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain yang memiliki standar berbeda. Jadi, tetapkan target yang ingin anda capai di masa depan. Berikan upaya optimal untuk mencapainya. Kemudian ukur dengan jujur keberhasilan kita sesuai upaya dan kemampuan yang kita miliki.

Jangan lupa, Rasulullah bersabda, barangsiapa yang hari ini lebih baik dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang sukses. Barangsiapa yang hari ini sama seperti yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang tertipu. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang-orang yang merugi di hadapan Allah SWT. Mudah-mudahan, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang memilii keadaan hari ini lebih baik daripada hari kemarin.

Wallahu’alam bishshowab.

Kapan Punya Anak ? Sudah berapa anaknya Bu..?

"Siapa yang tak ingin memiliki anak?" batin saya selalu mengatakan demikian. Sayang memang, mereka tidak pernah tahu, betapa telinga ini rasanya selalu rindu oleh tangisan atau teriakan-teriakan kecil, "Ummi...!" yang akan memanggil saya. Tangan ini rasanya selalu rindu akan dekap tubuh mungil dalam kehangatan balutan selimut kecil. Betapa saya ingin.ingin sekali memiliki buah hati. Suatu harapan yang selalu saya bawa dalam setiap doa.

Sampai suatu ketika, dokter terapi infertilitas saya di akhir pemeriksaan bertanya seperti ini, "Mengapa anda ingin memilki anak?" ucapnya dengan wajah serius. "Ada beberapa pasangan yang berobat ke sini, setelah berhasil memiliki anak malah bercerai karena tidak tahu alasan kenapa ingin memiliki anak," ucapnya melanjutkan. Saya yang tiba-tiba disuguhi pertanyaan seperti ini tentu saja tersentak berusaha mencari jawab. Sungguh, saat itu saya tak bisa menjawab secara spontan kenapa saya ingin memiliki anak.

Dalam perjalanan pulang pun pertanyaan tersebut masih terngiang-ngiang dan bermain dalam benak pikiran. Saya berusaha mencari jawaban atas alasan keinginan dan harapan saya memiliki buah hati.

Saya mulai bertanya pada diri sendiri, "Kenapa saya ingin memiliki anak?" Apakah keinginan ini keluar semata karena rasa egois seorang manusia yang ingin memiliki? Apakah keinginan ini hanya dikarenakan saya sudah mulai jenuh mendengar pertanyaan "Kapan punya anak?" atau pertanyaan sejenis lainnya yang kerap dilemparkan? Apakah keinginan ini karena saya merasa cemburu jika melihat teman-teman yang sudah mulai memiliki satu, dua, tiga.... momongan? Apa sebenarnya tujuan saya memiliki keturunan? Ternyata, saya sukses dengan jawaban buntu disertai kepala pening.

Hingga suatu hari, suami menghadiahkan sebuah buku berjudul "Cara Nabi Mendidik Anak" yang disusun oleh Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. Buku yang memberikan perhatian khusus mengenai Tarbiyah Nabawi lith-Thif (pendidikan Nabi untuk anak), banyak mengungkapkan dunia anak yang belum pernah saya temui. Membaca buku ini, saya hanyut dalam suasana seperti seorang ibu. Ada banyak hal yang semula tidak saya ketahui tertulis di sini, seperti cara efektif membangun jiwa anak, mengembangakan pemikiran anak, meluruskan kesalahan perilaku anak, serta banyak hal lainnya yang membuat saya kadang termangut-mangut sendiri sambil meresapi.



Selesai membaca buku tersebut, saya seolah tersadar bahwa bagi beberapa orang memiliki anak itu mungkin mudah tapi mendidiknya agar selalu terjaga dalam fitrahnya (Islam) tidaklah mudah. Imam Al-Ghazali sendiri dalam risalah Ayuhal Walad pernah mengumpamakan proses tarbiyah anak sebagai ibarat "Usaha petani yang mencabuti duri-duri dan membuang tumbuhan asing dari tanamannya agar tumbuh dengan baik dan sempurna." Ia tidak hanya untuk dilahirkan ke dunia saja, tapi lebih dari itu, ia memiliki hak dan kewajiban yang harus bisa dipenuhi serta didukung oleh orang tua dengan sebaik-baiknya.

Saya mencoba mengubah pola pemikiran. Yang tadinya hanya berorientasi ingin memiliki anak, sedikit demi sedikit mulai membuka pandangan dengan tidak hanya sekedar `ingin` tapi juga harus memilki kesadaran untuk mempersiapkan diri agar dapat menjadi Ibu yang baik. Seorang ibu yang kelak dapat menjadi penenang jiwa sesunguhnya bagi keluarga, yang dapat mengemban amanah berharga dari Allah swt berupa anak-anak serta dapat bertanggung jawab agar anak-anak menjadi abrar (orang-orang yang berbakti). Insya Allah.

Dengan mengubah pola pikir seperti ini, akhirnya saya mendapatkan jawaban untuk sebuah pertanyaan yang diajukan sang dokter di atas. "Mengapa anda ingin memiliki anak?" Jawabannya adalah sebagai istri, saya ingin dapat merasakan satu fase kehidupan yang disebut ibu. Selain itu juga ingin membahagiakan suami dengan menghadirkan cahaya mata, penyejuk hati, meski suami tidak pernah menuntut tentang hal ini. Sebagai umat Rasulullah saw, saya ingin menggembirakan beliau dengan memperbanyak jumlah umatnya. Seperti yang tertulis dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa`i, Rasulullah saw bersabda "Nikahilah wanita yang bisa melahirkan banyak anak karena aku akan berbangga dengan kalian kepada umat-umat lain." Sedangkan sebagai hamba Allah swt, saya ingin menjaga kelangsungan keturunan dengan melahirkan generasi-generasi muslim, yang akan bersama-sama berjuang mengagungkan nama Allah swt di muka bumi ini. Insya Allah.

Saya percaya, ini adalah salah satu skenario yang Allah swt berikan untuk menguji kesabaran. Baik saya dan suami, tidak akan pernah berputus asa berdoa meminta diberi kepercayaan untuk memiliki keturunan disertai ikhtiar. Bukankah Rasulullah saw sendiri pernah mengatakan "Janganlah salah seorang dari kamu menyerah dari memohon agar dikarunia anak..."

Akhir-akhir ini, saya mulai terbiasa dengan pertanyaan ataupun percakapan seputar belum adanya buah hati yang dilemparkan pada saya atupun suami. Saya tahu, mereka yang bertanya tidak lebih karena ingin bersimpati ataupun ingin turut membantu memberikan jalan bagi kami yang tengah berikhtiar, meski selama ini mungkin tidak saya sadari. Saya harus bersyukur atas semua keadaan, karena di balik ini tentu akan ada hikmah, sebuah balasan terindah yang telah disiapkan Allah swt.

"Rabbihabliimilladunka dzurriyatan thayyibah, innaka samii `udduaa." Ya Tuhanku berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengarkan do`a. (Doa nabi Zakariya memohon keturunan, QS Al-Imran:38).

Suatu hari di Negeri Qur'ani

Saya harus menyelesaikan tugas mengajar privat di selatan Kairo hari itu. Perjalanan sekitar tiga puluh menit dari statsiun Demerdash, Abbasea. Pikiran saya tidak tenang, masih berkecamuk semenjak siang tadi. Kata teman-teman satu Fakultas ujian bisa jadi dimajukan dari biasanya. Terbayang oleh saya hafalan delapan Juz Al-Qur’an sudah menunggu. Ah, jika saja dulu di Indonesia sudah hafal banyak Al-Qur’an rasanya tidak usah pusing memikirkannya lagi, tinggal mengulang dan mendalami. Tidak seperti sekarang, terburu-buru menghafal karena ujian sudah dekat. Padahal dosen di kuliah berulang kali mengingatkan jangan menghafal Qur’an karena ujian, hafalkan ayat-ayat Qur’an karena ia kitabmu.

Diam-diam saya mengeluarkan mushaf kecil, membaca sisa bacaan yang belum selesai. Di depan saya berdiri, nampak anak muda berpakaian trendi sedang membaca kumpulan surat-surat pilihan dalam Al-Qur’an yang disebut Sab’ul Munjiyat. Tidak lama ia berdiri meninggalkan tempat duduknya, bersamaan dengan henti roda-roda baja kereta. Saya pun menempati kursi kosong bekas pemuda tadi.

Wajah-wajah dalam gerbong itu nampak lelah. Tetapi saya sedikit menemukan kesejukan, beberapa orang dalam gerbong itu membaca Al-Qur’an. Lelaki tua berambut putih yang duduk di samping saya juga mengeluarkan mushaf besar dari dalam tas lusuhnya. Memang terlihat ganjil, namun ia berusaha menyesuaikan dengan kondisi matanya yang (mungkin) sudah rabun.

Masyarakat Mesir cukup religius dalam keseharian mereka, utamanya dalam interaksi mereka dengan Al-Qur’an di tengah arus globalisasi dan invasi budaya Barat yang merajalela di negeri-negeri Muslim. Polisi, tentara dan satpam yang sedang jaga tak segan membaca Al-Qur’an. Saat pergi ke pertokoan Khan Khalili di kawasan Husein saya pun beberapa kali menyaksikan pemandangan yang membuat gairah keimanan menyala, beberapa penjaga toko Khan Khalili membaca Al-Qur’an sambil menunggu pembeli yang mayoritas turis Asing. Dan saat kami pergi ke kuliah, dalam bis-bis kota yang sesak beberapa orang Mesir membaca dan mengulang hafalan Qur’an-nya.

Pernah satu waktu sepulang dari perjalanan yang sama, saya ditegur seorang pemuda yang sedang mengulang hafalan Qur’an-nya.
“Apakah kamu membawa mushaf?”
“Ya” Jawab saya. “Mengapa kamu tidak membacanya?” katanya lagi.
“Saya tidak punya wudlu.”
“Apa salahnya mengulang hafalan Qur’an? Saya juga tidak punya wudlu!” saya mengangguk dan membenarkan nasihatnya.

Beberapa waktu lalu, adik kelas saya satu sekolah dulu bertanya, “Bagaimana cara menghafal Qur’an yang efektif?”

Saya tidak punya jawaban yang betul-betul saya tahu, hanya saja saya sarankan untuk terus menghafal dan banyak mengulang. Usahakan baca Qur’an di mana pun ada kesempatan seperti masyarakat Mesir melakukannya. Ia kemudian menjawab, bahwa untuk membaca Qur’an di setiap kesempatan terasa sulit jika diterapkan di kota seperti Jakarta. Saya tidak tahu pasti apakah memang benar di Jakarta susah untuk melakukannya? Karena masyarakat yang tadi saya ceritakan di atas ada di Kairo yang nota bene ibu kota Mesir.



Setidaknya satu hal yang diharap para pembaca Qur’an itu: keberkahan. Keberhakan dalam segala hal, bukan hanya dari sisi materi, jauh dari itu keberkahan di Hari Pengadilan seluruh manusia. Karena kata Nabi SAW, “Bacalah Qur’an. Karena ia akan menjadi pemberi syafa’at kepada para pembacanya.” Dan keberkahan itu sendiri telah dijanjikan Allah dalam kitab-Nya ini, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shaad: 29)

Penulis buku ‘Fî Dzilâlil Qurân’ (Di Bawah Naungan Qur’an) Sayyid Qutb, mengungkapkan kekagumannya kepada Al-Qur’an setelah lama ia bergelut dengan berbagai pemikiran Materealis, “Wajadtu-l Qur’an” (Kutemukan Al-Qur’an) katanya. Semenjak itu ia pun konsen mempelajari Al-Qur’an sampai ia menemui syahid di tiang gantungan, setelah merampungkan karya monumentalnya: Fî Dzilâlil Qur’ân.

Inilah sedikit gambaran dari sebuah Negeri Qur’an bernama Mesir. ‘Negeri Qur’an’ hanyalah sebuah nama yang terlintas di benak saya. Ia bukanlah negeri yang selalu identik dengan tanah Arab, bukan itu yang saya maksud. Negeri Qur’an ialah negeri yang masyarakat Muslimnya dekat dengan Al-Qur’an apapun bahasa nasionalnya. Negeri yang mencintai Al-Qur’an sebagaimana mereka menyintai Allah pemilik kitab-Nya. Negeri itu mungkin saja negeri kita tercinta: Indonesia.

Larutan Penyegar Hati

Aku bukan tak ingin kaya.
Juga tak ingin hidup miskin.
Aku hanya ingin memilih selalu hidup sederhana.
Aku ingin menjadi orang biasa.

Biarlah rumah kami begini, apa adanya, asal keluargaku dapat berteduh dan beristirahat, terhindar dari panasnya matahari dan basahnya hujan. Rumah model kampung dan tak mengikuti tren arsitektur terbaru. Tak harus mewah, tak harus terlihat indah dan artistik.

Aku malu pada Rasul yang hanya tidur di atas tikar kasar tiap harinya, sementara di rumahku tersedia kasur spring bed yang kadang terlalu memanjakan penggunanya sehingga terlambat sholat berjamaah.

Aku malu pada Syekh Ali Ghuraisyah, yang hanya menjadikan krak botol minuman yang ditutup sehelai kain lusuh untuk meja dan kursi tamunya. Sementara di rumahku ada beberapa kursi, meskipun kuno dan bukan sofa, yang cukup enak diduduki.

Aku malu pada Usamah, yang tak memiliki satu buah furnitur pun di rumah keempat istrinya, sementara untuk amal sosial dengan mudah dia akan mengeluarkan cek senilai ratusan juta dollar.

Mereka bukan orang miskin, tapi mereka adalah orang-orang yang memilih untuk hidup sederhana.

Aku takut berlimpahnya harta akan menyilaukan mata dan hatiku.
Takut nyamannya rumah dan kendaraan membuatku tak lagi mampu meletakkan harta di tangan, tapi telah jauh meracuni hatiku.
Dan aku sungguh takut dengan ujian harta ini.

Biarlah kendaraan kami biasa saja, sepeda motor yang sudah cukup berumur dan mobil kuno 1990-an yang sudah berkarat di beberapa sisinya. Asal dengan itu telah mampu membantuku beraktivitas dan menghemat banyak hal dalam perjalanan.

Aku malu pada Rasul dan Abu Bakar, yang menempuh perjalanan Makkah-Madinah dengan berjalan kaki, padahal mudah bagi beliau untuk meminta diperjalankan oleh Allah dengan Buraq sekalipun.

Aku malu pada Syekh Hasan Al-Banna & Syaikh Umar Tilmisani, yang lebih memilih naik kereta kelas ekonomi untuk berdakwah di seantero Mesir, meski secara finansial sangat mampu untuk naik kereta kelas di atasnya.

Aku malu pada pemuda Taufiq Wa’i, yang tak mau hanya sekedar naik taxi seperti saran bunda Zainab Al-Ghazali, karena khawatir tak mampu menyikapi fasilitas itu dengan benar.

Biarlah kemana-mana aku ingin naik angkutan umum kelas ekonomi, selagi fisik mampu diajak berkompromi. Bukan naik taxi atau kelas eksekutif. Bukan karena sayang mengeluarkan uang, tapi sungguh bersama orang-orang berbagai tipe di kelas ekonomi itu, banyak pelajaran yang dapat kuambil, dan itu mampu melembutkan hati.



Biarlah aku memiliki baju secukupnya saja, tak harus mengikuti model terbaru. Yang penting masih utuh dipakai dan cukup pantas dilihat orang. Aku takut menjadi penganut paham materialis, berburu berbagai koleksi baju, kerudung, tas, alat tulis, perlengkapan elektronik... bukan karena perlu tapi hanya sekedar ingin.

Aku malu pada khalifah kelima, Umar bn Abdul Aziz, yang setelah menjadi khalifah justru memilih jenis pakaian yang paling kasar dan paling murah pada pedagang yang sama, hingga membat takjub si pedagang karena sebelumnya sang Umar adalah seorang yang sangat memperhatikan penampilan.


Aku bahagia, saat melihat pak NN dengan istri dan ke-6 anaknya yang kecil-kecil dapat berteduh di salah satu rumah kami tanpa bayar sejak 8 tahun lalu. Jujur, melihat kehidupan perekonomian mereka yang makin membaik, kadang tergoda untuk mulai menerapkan prinsip ’profesional’ dengan perjanjian sewa.

Tapi, Astaghfirul-Lah.. kembali kutepis keinginan itu. Mungkin, justru lewat wasilah doa-doa tulus pak NN-lah, Allah selalu memberikan rezki yang berlebih padaku dan keluarga. Ya Rabb, biarkanlah rumah itu menjadi ladang amal pintu pembuka rahmatMu bagi kami.

Aku bahagia, meski piutang-piutang kami untuk berbagai keperluan pada beberapa orang tak kunjung terbayarkan sampai berbilang tahun bahkan berpuluh tahun. Aku pun tak ingat lagi persis jumlah nominalnya. Aku percaya, mereka semua bukan tak mau membayar, tapi belum mampu membayar.

Tentu mereka malu untuk tiap waktu hanya menghubungi lalu mohon maaf dan meminta penangguhan waktu pembayaran. Mereka juga manusia, yang memiliki izzah. Biarlah, mungkin mereka butuh waktu. Mungkin Allah sedang mengajarkan arti ikhlas pada kami. Biarlah, kalau memang ternyata sampai nanti pun tak mampu terbayarkan, Allah yang akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insya Allah....

Bahkan, mungkin dari mulut-mulut merekalah, teman-teman yangn membutuhkan itu, meluncur doa-doa ikhlas untuk kami sekeluarga, yang langsung didengar Allah di Arsy sana, hingga Allah berikan kemudahan rizki pada kami.

Aku ingat, salah seorang teman yang sudah cukup lama berhutang sekian juta, demi mengetahui bahwa aku akan menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu, dia mengirim sms: "Semoga hajimu mabrur ya Ning. Jangan lupa aku titip doa, doakan aku agar semua masalahku terangkat, kehidupanku menjadi lebih baik, dan aku dapat segera menunaikan kewajibanku pada kalian yang sudah tertunda sekian tahun.

Aku malu sebetulnya bicara begini. Tapi aku tahu, kalian bisa menerima dengan lapang".
Hiks, sungguh aku terharu dan menetes air mataku membaca sms itu.

Sayup-sayup, kudengar refrain nasyid Antara Dua Cinta-nya Raihan

Tuhan, leraikanlah dunia
yang mendiam di dalam hatiku
karena disitu tidak ku mampu
mengumpul dua cinta
Hanya cintaMu, kuharap tumbuh
diibajai bangkai dunia yang kubunuh ...

Tawakkal kpd Allah SWT sbg Solusi

Sobat tahukah kita kalo pengembara-pengembara itu adalah kita, sedangkan barang-barang bawaan adalah beban-beban kehidupan kita dan kapal besar itu adalah tawakal kepada Nya.

Teramat banyak dari kita yang begitu angkuh merasa diri sanggup memikul beban-beban kehidupan ini sendiri. Tanpa pernah sadar bahwa sebenarnya Allah telah menyediakan ruang besar tempat kita meletakan beban-beban kehidupan hidup kita yang teramat sangat berat itu.

Ruang besar itu bernama tawakal kepada Nya. Betapa naifnya kita jika merasa bahwa kita sanggup mengatasi setiap masalah kehidupan ini sendiri.

Seorang mukmin adalah orang yang cerdas dalam memahami kehidupan ini. Ia begitu mengenal karakteristik kehidupan ini yang penuh dengan cobaan dan rintangan, walaupun demikian ia juga telah sangat paham bahwa semua beban-beban itu tidak akan memberatkan kehidupannya jika ia meletakannya di tempat yang telah Allah SWT sediakan.

Seberat apaun beban yang di amanahkan Allah SWT kepada nya segera ia letakan di tempat bernama tawakal itu melalui sujud-sujud panjangnya, melalui kesitiqomahannya dalam beramal baik, melalui sedekah-sedekahnya, melalui munajatnya di sepertiga malam seraya dengan penuh semangat dan usaha yang optimal terus berusaha menjalani kehidupan ini.

Kalau kita mau jujur terhadap diri sendiri, pastinya kita akan sadar bahwa kita teramat lemah untuk menjalani kehidupan ini tanpa pertolonganNya. Jika kita merasa kuat lantas mengapa kita tidak dapat mengambil kembali sesuatu yang telah diamabil lalat dari makanan kita, mengapa kita tidak menahan nyawa orang yang kita sayangi ketika sakaratul mautnya, mengapa kita tidak bisa mengahadirkan kebahagian dan ketenangan jiwa kapan saja sesuka hati kita.

Jika semua kita dapat memahami kehidupan ini dengan baik. Kita dapat memahami bahwa Allah telah menyediakan ruang luas agar beban-beban kehidupan itu tidak memberatkan kita.



Maka tidak akan ada orang yang hari-harinya nya dipenuhi dengan bermuram durja, kita tidak kan mendengar banyaknya kabar seseorang mengakhiri kehidupannya dengan menggantung diri atau meminum racun hanya karena tidak dapat membayar hutang tiga ratus ribu rupiah yang harus dilunasinya, dan segala macam bentuk keputusasaan lainnya akibat tidak pernah memahami makna kehidupan ini.

Sobat, akankah kita masih tetap angkuh untuk terus memikul beban-beban kehidupan kita sendiri ataukah kita telah menyadari bahwa kita teramat lemah untu memikul beban-beban itu sendiri.

Sehingga kita akan segera meletakannya diruang yang Allah telah sediakan sipertiga malamnya, di sujud-sujud ketika menghadapNya, di majelis-majelis kebaikan hamba-hambaNya yang Shaleh. Tentunya hanya kita yang dapat menjawabnya.



























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Hampir lima belas menit aku mencari, namun tak kutemukan helm yang kuanggap itu adalah helmku. Tak kurang dari sepuluh helm yang serupa dengan helmku, dan aku sama sekali tidak bisa memastikan yang mana helmku. Aku hanya tahu helm ku berwarna hitam, namun aku tak tahu ciri khusus helm yang setiap hari kupakai untuk berangkat kerja bahkan kemanapun aku pergi karena helm itu adalah satu-satunya yang kumiliki. Dan sore itu terpaksa aku pulang melalui jalan alternatif yang arahnya memutar sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk menghindari polisi.

Sebenarnya bisa saja aku pulang melalui jalur yang biasa kulewati, toh tak jauh dari tempatku bekerja ada beberapa penjual helm pinggir jalan. Aku bisa berhenti sebentar dan membeli helm di sana. Namun itu menjadi tidak mungkin karena aku tahu persis jumlah uang dalam dompetku tidak cukup untuk membeli sebuah helm meski untuk harga yang paling murah sekalipun. Ah, tiba-tiba helm menjadi begitu penting dan sangat mahal bagiku.

***
Seringkali, kita memandang remeh terhadap sesuatu yang sebenarnya sangat kita perlukan hanya karena sebuah kebiasaan ataupun rutinitas. Kehilangan helm yang kualami adalah contoh nyatanya. Aku tak mengenali dengan baik sesuatu yang telah memberikan manfaat besar kepadaku. Setiap hari, kemanapun aku pergi, dia selalu memberiku rasa aman dan nyaman. Namun kenyataannya, aku tak tahu lebih banyak tentang helmku.

Hal lain yang juga sering terjadi adalah, kita kerap memandang sebelah mata pada orang-orang yang sebenarnya memberikan peran penting dalam keseharian kerja. Pembantu rumah tangga, office boy adalah mereka yang acapkali tak terlihat jasa besarnya dalam menyelesaikan berbagai macam tugas rumah dan kantor kita. Saat pembantu sedang sakit atau pulang kampung, kita baru sadar bahwa tak mungkin kita melakukan semua pekerjaan rumah sendiri dengan hasil dan waktu yang sama jika dikerjakan oleh pembantu kita. Begitupun saat office boy tidak masuk kerja, seakan semua pekerjaan menjadi tertunda karena kita harus mengerjakan semuanya sendiri, termasuk fotocopy dan mendistribusikan laporan ke departemen lain. Kita baru merasa sangat membutuhkan mereka pada saat mereka tak ada.



Tak hanya benda atau orang, kita juga sering tak bisa ‘melihat’ sesuatu yang sangat dekat dengan kita. Kesehatan misalnya. Dengan nikmat sehat, segala aktifitas pekerjaan bisa kita lakukan dengan lancar. Namun sayangnya kita terkadang baru menyadari dan mensyukuri betapa besarnya nikmat sehat itu manakala kita tak bisa melakukan berbagai aktifitas harian kita karena sakit.

Dekat tapi tak terlihat. Itulah yang sering terjadi pada diri kita. Kita menganggap sesuatu, seseorang atau sebuah nikmat menjadi kecil, biasa, tidak bernilai hanya karena sesuatu, seseorang ataupun nikmat itu setiap hari, setiap saat ada di sekitar kita, bersama-sama kita. Bahkan terkadang kita merasa bahwa keberadaan mereka itu bukan sebuah anugerah melainkan sesuatu yang memang semestinya ada. Kebiasaan kita menganggap kecil dan biasa terhadap mereka, paling parah adalah akhirnya membuat kita lupa bersyukur kepada yang telah menganugerahkan mereka kepada kita, yaitu Allah SWT.

Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan adanya suatu barang atau fasilitas, kehidupan kita menjadi lebih aman dan nyaman. Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan kehadiran orang lain, pekerjaan dan urusan kita menjadi lancar dan ringan dikerjakan. Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan nikmat sehat, hidup kita menjadi bergairah. Kita terkadang lupa bersyukur kepada Allah dengan segala nikmatNya yang tak terhitung, hanya karena nikmat itu selalu ada, dekat dengan kita.

Jangan biarkan rasa penyesalan datang. Mari kita syukuri segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, salah satunya dengan memberikan perhatian yang berbeda dari biasanya ( peduli ) terhadap apapun di sekililing kita. Karena dengan peduli terhadap mereka, maka rasa syukur akan muncul. Betapa besar nikmat yang Allah berikan, tak ada satupun yang kebetulan ataupun sia-sia


























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek- pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu.

Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan, "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan." Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tandaorang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yangsempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, sedang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya.

Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan isteri-isteri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri.



Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah Indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah?

Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan?

Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan…


























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Dulu, saat masih kuliah S.1 di Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo ia pernah ditawarkan dengan seorang mahasiswi oleh temannya yang telah menikah. Tapi saat itu ia menolak tawaran tersebut. Obsesinya untuk menyelesaikan S.2 lebih kuat mengalahkan keinginan untuk menikah. Namun kini, ia merasa dirinya harus segera menyempurnakan separuh agamanya. Ia membutuhkan seorang pendamping yang menjadi tempatnya berlabuh dan menumpahkan berbagai cerita dan gelisah jiwanya. Apalagi desakan dari Ibunya membuatnya tidak lagi bisa berdiam diri.

Ia sendiri heran, kenapa dorongan untuk menikah serasa kuat menyesak di rongga dadanya. Apakah saatnya telah tiba? Ia mencoba untuk banyak berpuasa, tapi puasa itu seakan tak mampu menundukkan gejolak itu. Berat. Hampir setiap malam ia menangis. Mengadukan perasaannya pada Sang Pencipta. Menumpahkan segala sesak di dada. Ia berdoa dalam tahajudnya yang panjang. Mengharap belas kasih dan curahan rahmat dari Sang Pemilik Jiwa.


"Selamat ya Fuad atas prestasi yang kamu raih dalam lomba Jaizah Dubes kemaren. Kapan jadi berangkat ke Australia?" Sapa Ustadz Jalal pada Fuad ketika Fuad berkunjung ke rumahnya.
"Insya Allah tanggal 14 Juli nanti, Ustadz."
"Insya Allah, semoga urusannya lancar dan perjalanan kamu diberkahi Allah."
"Amin, syukran doanya Ustadz."
"Sama-sama akhi. Apa kesibukan kamu sekarang?"
"Fokus merampungkan Tesis S.2. Saya punya target tahun depan sudah bisa di-munaqasyahkan, insya Allah."
"Insya Allah, akhi. Saya kagum dengan semangat dan kegigihanmu menuntut ilmu. Dalam usia yang masih muda, kamu akan menyelesaikan S.2-mu."
"Biasa saja Ustadz. Belum sepadan dengan prestasi yang pernah Ustadz raih," balas Fuad penuh senyum.

"Kamu terlalu merendah Akhi, saya senang bisa mengenalmu. Jarang lho di Al-Azhar ada mahasiswa yang bisa menyelesaikan S.2-nya pada usia 26 tahun."
"Seharusnya saya yang merasa senang bisa berkenalan dengan kandidat Doktor Jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar," jawab Fuad tak mau kalah.
"Ah, kamu terlalu berlebihan memuji saya akhi. Begini Akhi, mungkin lansung saja ya pada inti pembicaraan. Saya diberi amanah oleh kakak saya di Indonesia untuk mencarikan calon suami untuk anaknya. Selama ini saya mengamati mahasiswa-mahasiswa yang saya kenal termasuk akhi. Setelah saya coba pikirkan dan bicarakan dengan istri saya, saya melihat akhi orang yang tepat."
"Afwan Ustadz, saya kira Ustadz keliru dan terlalu berlebihan menilai saya. Saya hanya orang yang biasa saja."

"Tidak Akhi. Penilaian ini bukan asal-asalan. Tapi setelah sekian lama saya mengamati kehidupan Akhi. Kalau akhi berminat dan telah punya keinginan untuk menikah, kita bisa bicarakan lebih lanjut."
"Apakah calon yang wanitanya di Indonesia Ustadz?"
"Tidak, dia kuliah di Jurusan Syariah Islamiyah, tingkat tiga."
"Apa saya mengenalnya Ustadz?"
"Mungkin tidak. Sangat beda dengan akhi, kalau akhi seorang aktivis dia sebaliknya. Tidak banyak yang mengenalnya."
"Apa dia sendiri telah siap menikah Ustadz?"
"Insya Allah, kalau dia gak ada masalah. Ia selalu menuruti keinginan orang tuanya. Dia anak yang penurut. Kalau akhi bagaimana, apa sudah punya calon?"
"Belum Ustadz."
"Berarti pas sekali," tanggap Ustadz Jalal penuh riang dan menunjukkan wajah cerah.
"Tapi Ustadz, saya butuh waktu untuk mencerna dan mempertimbangkannya. Saya belum bisa memberi jawaban sekarang. Saya butuh waktu seminggu untuk memberi jawaban pada Ustadz."
"Tidak mengapa akhi. Saya bisa maklum. Silahkan ditimbang dulu dengan matang. Jika akhi menyetujui saya sangat senang sekali. Namun bila sebaliknya, tidak mengapa, saya akan mencoba menawarkan pada yang lain."
"Insya Allah Ustadz, akan saya istikharahkan pada Allah, semoga Allah menunjukkan yang terbaik, amin."
"Amin."



"Alhamdulillah, akhirnya amanah ini tersampaikan juga. Saya sangat senang sekali. Selamat Fuad kamu akan menikah sebentar lagi."
"Doanya Ustadz, semoga saya bisa mengemban amanah ini dengan baik."
"Amin, semoga Allah selalu memberkahi kalian nantinya, amin. Fuad, ada satu hal yang sangat penting untuk kamu ketahui, calon istrimu itu cacat."

Fuad sangat terkejut.
"Cacat maksud Ustadz bagaimana?"
"Cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua tangan dan kedua kaki. Terkadang sering berbicara sendiri dan juga sering menangis tanpa sebab. Bagaimana, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?"
Fuad diam sejenak. Ia terlihat memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian ia menjawab.

"Insya Allah, saya siap Ustadz," jawabnya dengan mantap.
"Ini keputusanmu?"
"Ini bukan keputusan saya Ustadz, tapi keputusan Allah. Saya telah meng-istikharahkan dan saya rasakan hati saya mantap dan teguh dengan pilihan ini. Saya yakin Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk saya."

"Apa kamu tidak menyesal dengan pilihan yang telah kamu ambil?"
"Tidak Ustadz, sama sekali tidak. Bagi saya, pilihan Allah lebih baik dan mulia. Walau secara zahir itu berat dan mungkin menyakitkan, tapi saya rela dan ikhlas. Insya Allah ada pahala dan kebaikan disana menanti. Saya teringat ketika Nabi Ibrahim harus dilemparkan ke dalam api, saat itu beliau tidak gusar dan tidak takut sedikitpun, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang berserah pada-Nya. Atau ketika Nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir yang tandus demi memenuhi seruan Allah."

"Saya kagum dan bangga padamu Fuad. Sebenarnya sejak awal saya ingin menceritakan padamu kondisi calonmu itu. Tapi, saat itu saya lupa untuk menyampaikannya. Maafkan atas kealpaan saya tersebut."
"Tidak mengapa Ustadz, semuanya sudah terjadi, dan sebagai seorang hamba Allah kita wajib menerima kehendak takdir. Barangkali dalam takdir Allah saya harus menikah dengan seorang wanita yang cacat. Saya ikhlas Ustadz. Mungkin disana pula sumber pahala saya dari Allah. Berkhidmah pada hamba-Nya yang cacat."

"Tapi apakah akhi tidak mencoba mencari wanita lain yang lebih baik dan sempurna?"
"Sebenarnya pada saat Ustdaz menawarkan anak dari kakak Ustadz pada saya, dua hari sebelumnya saya juga ditawarlan oleh teman saya, bahwa teman istrinya juga lagi mencari calon suami. Dan sebelumnya juga ada tawaran. Karena itu saya meminta pada Ustadz agar memberi saya waktu satu minggu untuk istikharah. Karena ada tiga wanita yang akan saya istikharahkan. Saya perlu waktu yang lama untuk memikirkan dan memutuskan dengan matang."

"O begitu, saya baru paham. Kekuatan apa lagi yang menguatkan langkahmu untuk menjatuhkan pilihan pada anak kakak saya tersebut?"
"Istikharah dan mimpi kedua orang tua saya Ustadz. Kami mengalami mimpi yang sama dan merasakan ketentraman serta kemantapan hati yang sama."
"Saya kagum padamu akhi, saya merasa tidak salah memilih dan menilai selama ini. Akhi adalah orang yang tepat. Semoga Allah merahmati hidupmu dan keluarga yang akan akhi bina nantinya, amin," ucap Ustadz Jalal dengan wajah berbinar-binar.


Satu minggu berlalu setelah pernikahan, Fuad menemui Ustadz Jalal Fakhruddin di rumahnya, di Bawwabah Tiga.

"Bagaimana kabarnya Fuad? Kamu terlihat sangat cerah dan lebih segar sekarang."
"Alhamdulillah Ustadz. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang Ia curahkan."

"Ada yang ingin saya tanyakan tentang cerita Ustadz kemaren. Ustadz mengatakan bahwa istri saya cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua kaki dan tangan. Sering berbicara sendiri dan kadang suka menangis tanpa sebab. Saya telah mengetahui dua jawaban yang terakhir. Saya menyadari bahwa istri saya memang sering terlihat seolah berbicara sendiri. Awalnya saya heran. Tapi setelah saya tanyakan dan mendengar dari dekat, ia tengah berzikir, menyebut nama Allah, terkadang bershalawat pada Rasulullah, dan membaca al-Quran. Saya perhatikan ia melakukannya setiap hari, setiap waktu, tanpa henti. Sewaktu menyapu rumah, mencuci piring, menjemur pakaian, memasak, lisannya seolah tak pernah berhenti berzikir. Begitu juga saat bepergian ke luar rumah. Adapun yang Ustadz katakan, bahwa ia terkadang sering menangis tanpa sebab, saya hampir mendapati itu tiap hari juga. Ketika saya tanyakan, ia menjawab bahwa ia teringat akan dosa-dosanya pada Allah, takut jika amalnya tidak diterima, teringat azab dalam kubur, mahsyar, hari penghisaban, shirat dan siksa neraka. Jika teringat akan hal itu air matanya sering meleleh. Itulah yang saya ketahui. Sedangkan cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua tangan serta kaki itu, saya tidak mendapatkan. Saya perhatikan semuanya baik dan sehat."

"Akhi Fuad, alhamdulillah akhi telah menemukan jawabannya. Sedangkan maksud saya cacat pendengaran adalah, telinganya tidak pernah mendengarkan perkataan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Tidak pernah mendengarkan musik dan segala lagu-lagu yang merusak iman dan jiwa. Sesungguhnya yang selalu menjadi penghibur dirinya adalah al-Quran dan nasehat-nasehat para ulama. Cacat penglihatan adalah tidak pernah melihat pada yang haram, seperti menonton film yang di dalamnya syahwat diumbar, bisa saya katakan, matanya selalu terjaga dari melihat segala hal yang mengudang dosa dan maksiat. Dan cacat lisan adalah ia tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki, baik melalui sms, telpon, chating di YM, di FB dan seterusnya. Ia sangat menjaga hubungan dengan lawan jenis. Lisannya terjaga dari komunikasi dengan lawan jenis. Adapun cacat tangan adalah tidak pernah berbuat yang nista dan tercela. Sedangkan cacat kaki adalah selalu terjaga dari menempuh tempat-tempat maksiat. Selama di Mesir kakinya hanya melangkah untuk ke mesjid, majlis-majlis ilmu, bersilaturahmi, tidak pernah pergi ke warnet, mengikuti acara-acara yang di dalamnya bercampur laki-laki dan perempuan. Begitulah akhi, penjelasan singkatnya. Nanti setelah hidup lebih lama dengannya akhi akan banyak mengetahui tentang dirinya."

"Saya bersyukur Ustadz, inilah rupanya rahasia di balik petuntuk yang Allah berikan, dan hasil dari istikharah saya selama ini dan juga mimpi saya. Saya melihat dalam mimpi sebuah cahaya yang begitu terang, meneduhkan, menyejukkan, dan beraroma harum seperti kasturi."

Air mata Fuad menetes penuh bahagia, ia lalu bersujud syukur. Ia telah dikaruniai seorang wanita sorga yang dihadirkan Allah ke bumi. Wanita yang selalu menjadi buah bibir penduduk langit karena ketaatannya. Ia teringat dengan hadits Rasulullah. Walau di bumi istrinya tidak dikenal banyak orang tapi di langit, ia yakin istrinya selalu disebut dan didoakan oleh para malaikat.


























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Seorang bocah pengamen tanpa alat musik apapun, termasuk tepukan tangan. Kira-kira berusia 10 tahun.

Aku senang memandanginya, dia tidak seperti anak-anak jalanan kebanyakan. Kotor, bau, dan menyanyi seadanya. Ada hal unik dalam dirinya, pakaiannya bersih, memakai sandal, rambutnya jatuh tidak klimis, dan kuku tangan dan kakinya pun bersih. Seperti anak rumahan. Ibunya sungguh merawatnya, pikir ku malam itu.

Satu hal yang menjadi perhatianku, ternyata anak tersebut kurang normal. Gaya menyanyinya dieja kata perkata dengan berusaha sekuat tenaga agar apa yang diucapkannya jelas terdengar. Rupanya lirik sholawat badar menjadi lagu favoritnya. Beberapa penumpang senyum-senyum simpul memandangnya. Jujur, aku pun ingin tertawa lebar. Aku berusaha menahan tawaku dengan mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Setelah selesai menyanyi, ternyata masih ada satu hal yang dia lakukan. Dia memberi nasihat kepada kami tentang manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara. Subhanallah, dia membawakannya dengan penuh semangat, penuh percaya diri dan sangat sungguh-sungguh. Tanpa malu, meskipun tidak sedikit penumpang yang tersenyum simpul. Masya Allah, dia mendoakan kami semua. Hatiku begitu lapang mendengarnya. Beda rasanya ketika yang berdoa adalah panitia masjid yang memang ada maksud ingin meminta sumbangan. Anak itu begitu polos.



Seperti biasanya, anak-anak pengamen akan meminta bayaran atas hiburan yang sudah mereka persembahkan. Tidak kecuali dia. Dia memulainya dari kursi depan samping Pak Supir. Satu dua orang telah terlewati tanpa memberi apa-apa. Alhamdulillah orang ketiga telah memberinya uang. “Makasih Pak, semoga rizkinya nambah ya Pak” spontan anak itu mendoakan sang Bapak. Masya Allah bergetar hati saya. Dia terus mendoakan setiap penumpang yang memberinya uang. Penumpang yang memberi hanya mampu berucap amin sambil menggangguk disertai senyuman.

Biasanya saya selalu menyeleksi setiap ada pengamen bis kota, minimal melihat tampang dan kesungguhan mereka dalam menyanyi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengamen anak-anak adalah mereka yang dimanfaatkan oleh orangtua untuk mencari nafkah. Itulah salah satu usaha saya untuk mengurangi maraknya anak jalanan. Tapi tidak untuk bocah itu. Tangan saya pun ringan memberinya uang, dan saya niatkan untuk bersedekah. Saya pun tidak terlewatkan dari do’anya.

Sungguh banyak hikmah yang dapat saya ambil. Bocah itu telah mengingatkan banyak hal kepada saya. Kesungguhan dalam bekerja untuk mencari rizki tanpa malu yang penting halal, usaha untuk melakukan kebaikan dapat dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja, dan lapangnya dada kita untuk menebar do’a kepada siapa saja. Semoga Allah memberikan Rahmat dan perlindungan Nya kepada bocah itu dari kejahatan di malam hari. Amiin.



























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Saya mengagumi ulama-ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Ibnu al-Jauzy, Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan al-Banna karena ilmu yang mereka miliki, ketekunan mereka dalam beribadah, keluhuran akhlak mereka dan penghargaan mereka terhadap waktu. Imam Hasan al-Banna pernah mengatakan, kewajiban yang ada lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Pernyataan ini bukan pernyataan yang main-main, melainkan sebuah pernyataan yang keluar dari mulut seorang insan yang “bergelut” dengan waktunya dan sadar akan pentingnya waktu.

Cabang-cabang ilmu pengetahuan mulai dari fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, tarikh, tasawuf, filsafat, sastra Arab, hingga ilmu kedokteran, mereka kuasai dengan baik. Bahkan mereka ahli pada semua bidang itu. Tak heran jika seorang Roger Garaudy sangat mengagumi ilmu yang dimiliki para ulama Islam, yang sangat banyak itu, yang tidak dimiliki ilmuwan-ilmuwan Barat. Kekagumannya itu membuatnya masuk Islam. Ya, ini sungguh luar biasa. Siapapun orangnya, yang tentu saja masih berakal sehat, pasti akan menyadari hal ini. Bagaimana mereka menguasai banyak ilmu pengetahuan dalam usia mereka yang tergolong pendek? Inilah pertanyaan yang mesti di jawab di sini.

Saya berpikir, semua itu terjadi karena mereka sangat menghargai waktu. Sedetik pun waktu tidak pernah mereka sia-siakan. Kalaupun ada waktu yang terbuang percuma, mereka akan menyesal dan berusaha dikemudian hari hal itu tidak terulang lagi. Setiap hari, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jiwa, raga, dan pikiran mereka. Ada seorang ulama yang menunggu kedatangan gurunya dalam sebuah majelis, lantas kemudian ia isi waktu luang itu dengan shalat sunah.

Imam Ibnu al-Jauzy pernah kedatangan tamu yang membicarakan hal-hal yang tak berguna. Dia meladeni mereka sembari menyerut pensil untuk menulis buku. Siang dan malam beliau tidak henti-hentinya berpikir, menulis, mengajar dan membaca. Imam Ibnu al-Jauzy pernah berkata, “Dari tanganku lahir dua ribu jilid buku dan di tanganku juga telah bertaubat seratus ribu orang, dua puluh ribu orang di antaranya masuk Islam.” Di antara karya-karyanya, Durratul Ikliil 4 jilid, Fadhail al-Arab, al-Amstaal, al-Manfaat fi Madzahib al-Arba’ah 2 jilid, al-Mukhtar min al-Asy’ar 10 jilid, at-Tabshirah 3 jilid, Ru’us al-Qawariir 2 jilid, Shaidul Khathir, Kitab al-Luqat (ilmu kedokteran) 2 jilid, dan sebagainya.

Imam Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang waktunya tidak pernah luput dari berbuat kebaikan. Hingga dipenjara sekalipun, ia tetap berusaha menulis, berceramah kepada para napi, dan lain sebagainya. Beliau pernah berkata, “Apakah yang akan diperbuat musuh-musuh terhadapku? Jika aku dipenjara, penjaraku adalah khalwah. Jika aku diasingkan, pengasinganku adalah tamasya. Dan jika aku dibunuh, kematianku adalah syahadah.” Sekalipun pena-penanya disingkirkan oleh pemerintah tirani, dia tetap saja menulis walaupun dengan arang.

Jika diberi umur yang panjang, niscaya mereka akan terus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Namun kenyataan tidaklah terjadi demikian. Karena ilmu di dunia ini sangatlah banyak dan tak mungkin umur manusia yang pendek, dapat menguasai semuanya, para ulama akhirnya membuat pengurutan ilmu-ilmu apa saja yang “wajib” dikuasai oleh kaum muslimin. Imam Ibnu Qudamah dalam bukunya berjudul Mukhtashar Minhajul Qashidin mengomentari hadits yang berbunyi, “Mencari ilmu itu wajib atas setiap orang muslim,” dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ilmu wajib di sini adalah ilmu muamalah hamba terhadap Tuhannya. Muamalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus ditinggalkan.



Saya kemudian merenung tentang diri saya sendiri dan kebanyakan orang pada umumnya, betapa banyak waktu yang telah kita buang percuma. Mungkin satu atau dua jam waktu luang yang terbuang dalam sehari tidak akan kita rasakan dampak negatifnya. Namun jika dikumpulkan dalam setahun atau bahkan dalam seumur hidup, akan sangat terasa, betapa kita telah melalui banyak momen dengan hal yang tidak berguna. Waktu-waktu itu begitu cepat berlalu dan tak dapat kembali lagi. Sedetikpun ia tak mau. Pada akhirnya semua itu membuahkan penyesalan yang berkepanjangan. Kita hanya membawa amal yang sedikit kehadapan-Nya.

Seorang ulama shalih bernama Taubah bin ash-Shimmah biasa mengintrospeksi dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung-hitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu hari lebih lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu limaratus dosa?” Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia sedang meniti ke surga Firdaus.” (Lihat Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin)

Sebagian orang terlalu banyak berharap dengan amal yang sedikit, mudah-mudahan dapat masuk surga. Mereka mengacu pada hadits qudsi yang berbunyi, “Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Karena itu hendaklah dia menyangka terhadap-Ku menurut kehendaknya.” Mengomentari hadits ini, Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya, ad-Daa’ wad-Dawaa, mengemukakan, memang Allah akan melaksanakan sangkaan hambanya. Namun tidak dapat diragukan bahwa baik sangka hanya terjadi jika ada kebaikan. Orang yang berbuat kebaikan adalah orang yang berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari janji-Nya serta akan menerima taubatnya.

Adapun kezhaliman, kedurhakaan dan hal-hal haram yang dilakukan orang yang buruk dan intens dalam melakukan dosa-dosa besar, menghalanginya untuk berbaik sangka terhadap Allah. Yang demikian dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang budak yang melarikan diri dan tidak lagi taat kepada tuannya, tentu tidak berbaik sangka kepadanya. Dia tidak bisa memadukan tindakan yang tidak baik dengan baik sangka. Orang yang buruk tentu merasa tidak respek, tergantung dari keburukannya. Maka orang yang paling berbaik sangka terhadap Allah ialah yang paling taat. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang mukmin adalah orang yang berbaik sangka terhadap Tuhannya dan yang baik amalnya. Sedangkan orang keji ialah yang berburuk sangka terhadap Tuhannya dan buruk pula amalnya.”

Bagi mereka yang menyadari sangat dekatnya kematian, niscaya akan sangat menghargai waktu. Waktu kita yang berlalu dengan sia-sia, hendaklah menjadi cambuk, agar kelak, dikemudian hari, tidak melakukan hal yang serupa. Kita bertekad kuat untuk mengisi hari-hari dengan amal yang berkualitas guna memperoleh pahala dan ganjaran yang abadi. Bagi seorang yang kaya harta, maka ia akan berusaha untuk mewakafkan kekayaannya dan mendarmabaktikan dirinya untuk dakwah dan jihad fi sabilillah. Sedangkan bagi seorang penulis, ia akan menulis buku yang bisa dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan pelbagai kebaikan. Dari karya-karyanya, banyak orang yang dapat mengikuti jejak amalnya. Itulah manusia yang tidak pernah mati. Betapa banyaknya manusia yang mati, namun pada hakikatnya mereka selalu hidup.


























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------




Dalam kehidupan seringkali manusia "terjebak" pada kata takdir, Padahal ada takdirNya yang bisa dirubah dan ada takdirNya yang tak bisa dirubah, saya kemukakan di ujung akhir tulisan ini Perkara takdir memang menarik, banyak perdebatan yang melahirkan berbagai tiori dan golongan.
Ada yang bertiori bahwa manusia hanya semacam wayang kulit yang digerakan bagaimana maunya dalang, ada yang bilang manusia punya kehendak bebas, sebebas-bebasnya, ada juga yang mengambil jalan tengah antara kedua tiori tersebut. Namun tulisan ini tidak untuk berdebat, hanya untuk berbagi. Karena setiap manusia mempunyai pendapatnya masing-masing yang kadang berbeda satu sama lain.

Tak ada sesuatupun yang dapat menghalangi takdir yang datang dariNya, yang baik ataupun yang buruk. setiap keputusanNya pasti terjadi! Disukai atau tidak oleh manusia. Takdir Tuhan yang telah terjadi tak dapat kamu tolak, walau manangis darah sekalipun atau kamu protes dengan suara yang menggelegar membelah langit, membelah angkasa raya.

Kamu menolak atas takdir yang buruk, Tuhan tidak rugi. Sebaliknya kamu bersyukur atas takdir yang baik, Tuhanpun tidak untung. Semuanya dikembalikan padamu, Dia tak butuh apa-apa darimu. Takdir buruk, seperti kematian, bencana alam, terkena PHK, dipecat dari jabatan dan sebagainya, adalah takdirNya, baik karena perantara manusia atau memang sebab alam, namun keduanya, asal muasalnya tetap dari Allah SWT.

Kamu taat atau kapir tidak merubah takdir Tuhan, kamu suka atau tidak, tak merubah kekuasaan Tuhan. Kamu bahagia atau menderita tak merubah kehendak Tuhan. Kamu beriman atau murtad tak mengurangi kamauan Tuhan. Kamu bersyukur atau kupur tak merubah kasih sayang Tuhan. Ya semuanya kembali kepadamu, Tuhan bagaikana cermin yang memantulkaan semua kelakuanmu. Jadi kamu masuk syurga atau nereka adalah hasil dari perbuatan kamu sendiri, Tuhan hanya menyediakan tempat tersebut untuk membalas setiap amal yang kamu lakukan.

Kamu masuk syurga Tuhan tidak untung, kamu masuk nerakapun Tuhan tidak rugi. Kamu punya kehendak bebas untuk melakukan apa yang kamu sukai dan resikonya tanggung sendiri. Itulah Tuhan, Dia telah membebaskan manusia untuk berbuat apa saja yang mereka kehendaki, yang baik atau yang buruk, beriman atau kapir, semuanya diserahkan kepada manusia. Untuk itulah manusia diberikan akal pikiran, hati dan kehendak. Dengan ketiga modal itu, manusia nanti dimintai pertanggungjawabannya.

Maka ketika mendapat takdir baik atau takdir buruk tidak abadi keduanya, tidak selamanya takdir baik ada pada manusia ketika hidup, begitu juga tidak salamanya takdir buruk ada pada manusia. Selama kamu hidup di dunia, apapun bentuknya tidak pernah abadi, ya suka, sukanya sementara. Bila duka, dukanya sementara. Keduanya saling berganti dan bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Dan itu semua akan berakhir pada kematianmu, dibalik kamatian itulah akan ditemukan keabadian. Ya suka, sukanya abadi(syurga) bila duka, dukanyapun abadi (neraka) keduanya tetap dan tidak bisa saling menggantikan.

Nah, terkadang takdir buruk itu dating berupa kematian, yang memang pada akhirnya apapun yang kamu cintai akan kamu tinggalkan, suka atau tidak, rela atau tidak, semuanya akan kamu tinggalkan atau kamu ditinggalkan oleh semua itu !

Begitu juga tentang masa depan ada dihadapanmu, tak bisa kamu hindari dengan berlari jauh darinya. Ya hadapi masa depan baik atau buruk, itu hidup namanya. Urusan masa depan ada ditanganNya, masa depan adalah milikNya, maka kita berserah diri kepadaNya. Insya Allah segala urusan kita dimudahkan olehNya. Jangan ragu-ragu, mantapkan iman, teguhkanlah pendirian.

Hidup prihatin, perih-perih hati, karena memang tidak semua keinginan dapat terpenuhi. Ingat, dibalik keprihatinanmu..., jauh di ujung sana banyak lagi manusia-manusia yang jauh lebih prihatin darimu. Mereka kelaparan, di usir dari tanah kelahiran, di rampas hak-haknya, dihancurkan oleh musuh-musuhnya, menderita, sengsara, rumah hancur kena bom, kedinginan yang memilukan. Itu takdir mereka dan dengan segala daya upaya mereka mencoba melepaskan diri dari takdir buruk menjadi takdir baik, lari dari takdir ke takdirNya juga.


Bagi yang sedang belajar atau kuliah atau yang sedang berusaha meraih cit-cita apapun bentukny, harus ditekankan bahwa tak ada kata putus asa dalam mencapai cita-cita, berjuang terus dalam hidup dan kehidupan, tak ada kata patah semangat untuk mencapai sesuatu yang baik dan diridhoiNya. Takdir baik di capai dengan usaha yang keras dengan keyakinan : Selalu ada kemudahan di balik kesulitan, sungguh ada kemudahan di balik kesulitan. Buat apa melanglang buana jauh-jauh, kalau diri kita sendiri tak dapat dirubah menjadi lebih baik dan lebih terpuji.

Ayo bergerak menjemput takdirNya yang terbaik, karena ada takdirNya yang bisa dirubah dengan usaha dan kerja keras, sambil terus berdoa mohon petunjukNya. Sedangkan takdir berupa yang menghidupkan dan yang mematikan tak bisa di rubah, kita anak siapa dan keturunnya dari mana juga termasuk takdir yang tak bisa dirubah. Sedangkan kebodohan, kemiskinan dan lain-lain bisa dirubah dengan usaha manusia.

























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------



Semua yang sedang berada di kantin menengok ransum makanan catering yang disediakan kantor. Ada nasi bersayur "krawu" (seperti pecel bersambal parut kelapa pedas) dengan tahu oncom goreng sebagai pendampingnya. Lauknya ayam goreng dan tempe goreng. Kalau mau nambah, teman-teman bisa mengambil satu-dua kerupuk putih di toples.

"Tahu oncomnya ada kemungkinan mengandung formalin!" sahut saya.

"Ya, kerupuk itu jangan dikira nggak ada apa-apanya meskipun putih," timpal Nugroho, teman saya di seberang meja. "Bagaimanapun, putih adalah sebuah warna. Kerupuk itu sangat mungkin menggunakan zat pewarna untuk membuatnya menjadi putih menarik seperti ini!"

Yang lain mengangguk. Mengiyakan.

"Betul juga. Coba ayam gorengnya itu. Jangan-jangan ia mengandung virus flu burung?"

"Dan jangan lupa, sayurnya itu ketika mau dibawa ke kota, agar tidak layu dan dimakan serangga atau ulat, disemprot dengan insektisida, lho!"

"Wah, repot kalau begitu," kata saya memperkeruh suasana. "Beras yang putih inipun sudah tidak mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh. Kandungan organiknya sudah habis selama menjalani pemrosesan."

"Belum lagi kalau kita makan daging, ada ancaman sapi gila."

"Makan daging kambing, awas antrax!"

"Makan buah-buahan, perhatikan insektisida yang menempel di kulitnya."

"Makan bakso, awas dagingnya mengandung boraks!"

"Atau daging tikus!"

"Ya, ya. Seperti ditayangkan TV kemarin!"

"Jangan-jangan kita disuruh kembali ke jaman nenek moyang?"

Semua tertawa. Tetapi, tak satu pun yang tak lahap makan siang hari itu!

Tidaklah salah jika Rasulullah, empat belas abad yang lampau sudah mengatakan bahwa sumber dari segala penyakit itu ada di lambung. Maksudnya adalah makanan yang kita makan. Karenanya, di dalam ajaran agama sangat ditekankan untuk makan dan minum yang halalan thayyiban. Halal diurutan pertama, kemudian baru thayyib. Halal, artinya dibolehkan dikonsumsi oleh syariat, dan thayyib berarti "dibolehkan" atau layak dilihat dari ukuran kualitas zat makanan atau minuman yang hendak dikonsumsi.

Islam meletakkan perhatian sangat serius di urusan makan ini karena sangat menyadari bahwa perkara makan sangat berpengaruh terhadap jasmani dan rohani tubuh kita. Bahkan di samping pernyataan makan dari sisi fisik seperti hadits di atas, pada banyak hadits yang lain Rasulullah menyatakan sisi-sisi spiritualitas terkait dengan makanan ini. Bahwa barangsiapa makan makanan yang haram, maka jangan berharap doanya akan maqbul (diterima). Janganlah memberikan makan dari makanan yang haram kepada keluarga kita, karena itu tidak ubahnya seperti memasukkan bara api ke dalam mulut mereka. Dan berbagai hadits yang lain.



Tidak hanya itu, Rasulullah mengajarkan pada kita bagaimana adab dan pola makan yang baik. Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Makanlah dengan komposisi sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara. Makanlah secara berjamaah. Makanan untuk dua orang cukup untuk bertiga. Makanan untuk tiga orang cukup untuk berempat. Berbukalah dengan yang manis-manis seperti kurma. Dan jangan lupa untuk berdoa sebelum dan sesudah makan. Subhanallah, betapa lengkap sudah himbauan dan tata-aturan soal makan ini di dalam Islam.

Susahnya, banyak dari kita yang tidak mengindahkannya. Satu hal saja: apakah kita setiap kali berdoa sebelum makan dan sesudahnya? Kebanyakan kita berdoa hanya ketika anak kita yang baru masuk playgroup atau TK sedang makan bersama kita.

***

Saya agak tersentak ketika surfing di internet menemukan kenyataan bahwa formalin itu merupakan merk dagang dari senyawa jenuh formaldehyde (37%)
dicampur air (sekitar 50%) dan sisanya pelarut lainnya. Apa pelarut lainnya itu? Pelarut lainnya yang dimaksud kebanyakan adalah methanol! Ia berfungsi sebagai stabilisator.

Methanol?

Setelah saya cek lagi ke wikipedia, methanol, atau dikenal juga dengan methyl alcohol atau wood alcohol (CH3OH) merupakan keluarga alkohol yang paling sederhana, ringan, mudah menguap, tak berwarna, tak berasa, mudah terbakar, dan cairan beracun dengan sedikit bau. Alkohol berasal dari kata bahasa Arab Al-Khukul, di mana Al-berarti "the" dan Khukul berarti "spirit."
Tentu saja, Alkohol biasa digunakan sebagai campuran drug atau minuman keras. Al-Khamr dalam bahasa agama. Al-Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, yang memiliki efek menghilangkan "spirit" si peminum dengan berkurangnya respon sistem syaraf pusatnya. Dan Al-khamr, termasuk alcohol,
terutama hasil proses kimia sintesis, banyak sedikitnya sudah jelas keharamannya (QS. Al-Baqarah: 195)

Nah, jika methanol adalah alcohol, maka mestinya ia haram juga jika dikonsumsi. Jika ini benar, maka makanan yang mengandung formalin hukumnya menjadi haram untuk dikonsumsi! Dan jika formalin sudah ditemukan disalahgunakan pada makanan sejak 1982, maka. amboi! Sudah berapa lama kita memakan makanan yang mungkin mengandung formalin dengan pelarut methanol yang haram? 23 tahun?

Astaghfirullah!

Padahal lumayan susah untuk membedakan ikan segar yang diberi methanol pada kadar yang minimum dengan ikan segar yang diawetkan secara alamiah dengan es. Jika penelitian penggunaan formalin secara malpraktik ini sudah tersebar di seantero nusantara, dan sudah berlangsung bertahun-tahun, maka saya jadi teringat dengan perkataan Rasulullah di atas. Maka, barangkali pantaslah kalau doa-doa kita terhambat menyentuh 'arsy Allah dan karenanya menjadi bangsa yang tidak maqbul doanya, meski tongkat kayu bisa jadi tanaman di bumi ini.

Masya Allah! Na'udzubillahi min dzaalik!

***

Oleh karena itu, mungkin ada baiknya kita mulai menanam sendiri sayuran di pekarangan rumah. Membuat sendiri tahu tempe secara sederhana. Memelihara ayam, sapi, dan kambing di halaman belakang rumah. Beternak lele, gurami,
baronang, tongkol di empang samping rumah. Menanam mangga, jeruk, jambu,
semangka, dan apel di tanah kita yang masih kosong. Kalau perlu menamam durian dan kelapa sendiri!

Saya yakin sebagian besar kita akan tertawa membaca ini. Mana mungkin? Rumah hanya sekotak; sudah berdesakan dengan tetangga, full bangunan lagi! Mana sempat? Waktu kita sudah habis untuk berangkat ke kantor pagi-pagi, kerja,
dan kemudian pulang larut malam. Macet membuat capek jiwa dan raga. Kapan mau menengok lele di empang atau memberi makan sapi?

Ha ha ha!

Terus bagaimana solusinya? Itu yang penting!

Mungkin sudah saatnya ada sebagian kaum muslimin yang berkhidmat menyediakan kebutuhan makan dan minum kaum muslimin lainnya dengan memperhatikan aspek halalan dan thayyiban itu. Sehingga kaum muslimin tidak ragu lagi menyantap makanannya. Dan inilah barangkali pangkal diterimanya doa-doa kita.

Bukankah pada sebuah hadits dikatakan, barangsiapa memberi kemudahan kepada saudaranya yang sedang dirundung kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat?

Lepas dari kekurangan dan kelebihannya, mungkin kita perlu meniru konsep Darul Arqam dalam mandiri berekonomi. Dari kaum muslimin, untuk kaum muslimin. Kenapa tidak?

Nah, siapa mau memulai?

























-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------


PT. Magna Pro System
Tanggal 1 Maret 2009 MPS didirkan dan dibesarkan menjadi sebuah perusahaan yang mempromosikan dan memasarkan produk minyak atsiri. Awal April 2009 telah dimulai kerjasama yang baik dengan Bio Pacific Energy dalam mempromosikan dan mengembangkan Bio Aditif ke dunia industri. Oktober 2009 bekerjasama denganPT. Khairu Ummah sebagai perusahaan sirkulasi dan pengemasan terbentuklah UKM Bio Aditif pada tingkat keagenan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

">


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


GABUNG DI FACEBOOK "MAJELIS-TAUSIAH-PARA-KYAI-USTADZ-INDONESIA", KLIK DISINI


----------------------------------------------------------------------------------------------------



Apa yang membuat hati saya tersentuh adalah, saat ini, kondisi rakyat Indonesia sebenarnya juga dalam keadaan yang sangat sulit. Krisis ekonomi masih melilit kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tak heran kalau banyak juga orang yang mencibir aksi penggalangan dana untuk rakyat Palestina itu. Mereka menganggap aksi sosial ini tidak realistis, buat apa membantu orang yang sedang kesusahan di negeri yang beribu-ribu mil jauhnya dari Indonesia, sementara di negeri sendiri banyak orang yang kelaparan. Alasan seperti ini memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Apalagi saudara-saudara Muslim kita di Palestina menderita karena perlakuan tidak adil negara-negara kuat, negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.

Sungguh, melihat aksi damai kemarin hati saya tergugah bahwa dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini, Muslim Indonesia tidak melupakan saudara-saudara mereka yang menderita di negeri lain. mereka tidak kehilangan semangat untuk memberikan sedikit harta yang mereka punya. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk tetap bersedekah di waktu lapang maupun di waktu sempit? Seperti firman Allah swt. dalam Surat Ali-Imran: 133-136.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik... Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal."

Anjuran mulai dari Allah swt ini bermakna, bahwa dalam kondisi sesulit apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah. Meski cuma sedikit, yang terpenting adalah pemberian itu diberikan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridho ilahi. Namun terkadang, kita sangat sulit memberikan sedikit apa yang kita punya dalam kondisi lapang, apalagi dalam kondisi sempit dengan berbagai pertimbangan.

Pernahkah kita mengalami pada suatu saat dimintai sumbangan untuk keperluan umat, dan pada saat itu kita hanya memberikan uang ala kadarnya, yang penting sudah nyumbang. Padahal uang yang dikeluarkan untuk sedekah itu tidak seberapa jumlahnya dibandingkan uang yang kita keluarkan untuk hura-hura, kumpul dengan teman makan di restoran, beli baju mewah di mall ekslusif, beli sepatu bermerk dari luar negeri, beli parfum dengan harga ratusan ribu rupiah. Pernahkan kita merenungkan hal ini? Betapa beratnya kita mengeluarkan uang banyak untuk bersedekah dan betapa ringannya kita menghambur-hamburkan uang hanya untuk hal-hal yang sifatnya komsumtif dan duniawi.



Padahal anjuran dan perintah Allah swt berinfaq pada waktu lapang tujuannya untuk menghilangkan perasaan sombong, serakah dan cinta yang berlebihan terhadap harta. Sedangkan bersedekah di waktu sulit dianjurkan agar sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi bisa berubah menjadi suka memberi daripada diberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Rasulullah saw pun mengingatkan kita untuk jangan segan bersedekah, meski hanya dengan sebutir kurma. "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR Muttafaq alaih).

Semoga kita menjadi umat yang senantiasa selalu ingat bersedekah baik dalam kondisi lapang maupun sulit. Jikapun kita sudah tidak memiliki apapun untuk diberikan, bersedekahlah dengan doa. Sesungguhnya Allah swt senantiasa memberi kemudahan bagi kita untuk beramal shalih dengan keikhalasan dan hanya berharap ridho darinya.

(doaku untuk saudara-saudaraku yang sedang diuji Allah swt, semoga semua ujian ini makin mempertebal keimanan kita padaNya).