Jumat, 23 April 2010

Allah Pemilik Rejeki

Dalam perjalanan kehidupan ini, Allah memang kerap kita lupakan. Ada banyak orang yang begitu mudah mencari pertolongan kepada orang lain lalu menamakannya ikhtiar. Sementara itu, ada yang tauhidnya kuat sekali. Ada yang karena ilmu, ada yang karena kebiasaan, ada yang karena karakter, ada yang karena lingkungan, dan ada pula yang karena pengalaman. Dia cari dulu Allah dan ia bertahan dengan prinsipnya.
Salah satu kisah yang saya kenal adalah kisah seorang penjual kaca. Kisah ini saya naikkan menjadi film layar lebar. Sebab memang dia menginspirasikan saya sekali tentang “rizki itu di tangan Allah”. Penjual kaca ini bagus sekali tauhidnya. Karena itulah kemudian Allah hidangkan buatnya apa yang ia perlukan, kendati kita sama tahu dari tayangan film itu bahwa ikhtiar lewat tangannya tidak berhasil. Itu semua terjadi sebab ia meyakini rizki itu dari Allah, dan meyakini pertolongan itu hanyalah milik Allah.

Betul saudara-saudaraku semua. Kalau ditanya kepada saudara-saudara semua, rizki di tangan siapa? Mesti jawabannya sama. Semua akan menjawab rizki itu di tangan Allah. Kalau memang jawaban itu adalah jawaban yang benar-benar datangnya dari pengetahuan, iman dan kejujuran, mestinya tidak ada yang berani nyolong, tidak ada yang berani nipu, tidak ada yang berani tidak jujur. Selain tidak berani, juga tidak merasa perlu. Mengapa? Lah, kalau di tangan Allah, kenapa mesti begitu-begitu amat. Kan tinggal mendekatkan diri kepada Allah saja, maka lalu terbukalah rizki itu. Kenyataannya? Sebagian kita “tidak percaya” bahwa rizki itu dari Allah. Sehingga masih mencari lewat jalan-jalan yang bukan Jalan-Nya, dan masih mencari dengan cara-cara yang bukan dengan Cara-Nya.

Sebagian yang menjawab bahwa rizki itu dari Allah, pun kurang meyakinkan bila dilihat dari ibadahnya. Ngakunya, iya. Bahwa semua juga mengaku rizki itu dari Allah. Pertanyaan selanjutnya, kalau memang tahu dan sadar rizki itu dari Allah, mengapa lalu meninggalkan-Nya? Melupakan-Nya? Melalaikan-Nya? Atau minimal, mengapa tidak terlalu mengistimewakan-Nya?

Sederhana saja contohnya.

Azan berkumandang. Tanda Yang Memberi Rizki, memanggil. Apa yang terjadi? Saudara seperti tidak mengenal rizki yang saudara makan dari Allah. Cuek saja. Tidak bergegas. Tidak takut akan tidak dibagi rizki. Denger azan, biasa saja.

Beda sekali bila yang memanggil pimpinan. Begitu dipanggil, detik itu juga meluncur datang ke mejanya, ke ruangannya. Takut sekali kalau ga segera memenuhi panggilannya. Takut begini, takut begitu.
Seseorang yang sudah janjian akan meeting dengan pimpinan, akan takut sekali tidak tepat waktu. Apalagi sampe telat. Masuk bareng dengan pimpinan saja, rasanya sungkan. Kepala divisi kita, kepala bagian kita, sebagian BOD kita, akan menyarankan kepada kita, kalo bisa sudah hadir 15 menit sebelum rapat. Supaya jangan kedahuluan sama yang punya perusahaan. Jangan sampe keduluan sama dirut.

Bagaimana dengan Allah? Katanya rizki itu dari Allah? Katanya yakin bahwa bisa bekerja dan berusaha karena Allah. Bahkan lebih jauh lagi, kita menyadari dan tahu bahwa hidup ini pun sejatinya pemberian Allah. Lengkap dengan segala apa yang menjadi fasilitas hidup ini. Tapi sama Allah, ga ada pengistimewaannya.
Sama Allah sebenernya kita ini udah janjian. Janjian apa? Janjian shalat minimal. Sebagai seorang hamba Allah, seyogyanya kita tahu akan jadwal shalat. Itulah jadwal janjian kita dengan Allah. Bukan malah menghindar. Dan malah harusnya tambah merindukan. Setelah shubuhan, rindu waktu dhuha. Setelah dhuha, rindu waktu zuhur. Setelah zuhur, rindu waktu ashar. Setelah asharan, rindu waktu maghrib. Setelah maghriban, rindu waktu isya. Setelah isya-an, rindu waktu tahajjud. Setelah tahajjud, tidak kepengen melepas tahajjud kecuali menyertakannya dengan witir, baca al Qur’an, dan beristighar.

Kita rindu DIA. Sebab di waktu-waktu itulah kebersamaan kita. Benar sih, setiap saat Allah bersama kita. Tapi kalau di waktu-waktu prime time kita tidak bisa mengistimewakan-Nya, apa iya kita bisa merasa bisa bersama Allah terus?

Seseorang yang dijanjikan modal, akan melakukan apa saja yang diminta oleh pemodal itu agar permohonannya diluluskan. Sedangkan Allah? Dia sudah memberi tanpa kita minta. Tapi kemudian kita berjalan seakan-akan kita tiada mengenal-Nya. Tinggal bersyukur doangan ternyata kita tidak mampu. Astaghfirullaahal ‘adziem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar