Jumat, 23 April 2010

MENATA BAIT KEHIDUPAN

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, insya Allah, akan datang. Bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

Menangkap makna hidup sebagai sebuah pertarungan, memberikan sebuah kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang bertarung. Karena musuh dalam hidup bisa berbentuk apa pun: godaan nafsu, bisikan setan, dan berbagai stigma negatif. Inilah pertarungan yang merongrong keaslian jatidiri: sebagai muslim, aktivis, dan dai.

Pertarungan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding terbunuh sekali pun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan jatidiri bisa lebih dulu mati sebelum benar-benar mati. Ia menjadi mayat-mayat yang berjalan.

Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati: mati keberanian, mati kepekaan, mati spiritual, mati kebijaksanaan, dan mati identitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar